Sebagai lelaki yang lahir di tanah Minangkabau, lidah saya tentu akrab dengan daging rendang. Ya, sejak kecil, setiap jelang masuknya bulan Ramadhan dan di hari raya qurban, saya selalu mendapati rendang ternikmat buatan ibu. Kebiasaan ini nyaris tak pernah putus hingga saya menikah tahun 2015 lalu.

Saya menikahi dengan gadis kampung tanah kelahiran di Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar). Namun, usai menikah, kami tinggal mengontrak di Kota Padang. Tahun 2016, kami berlebaran di kampung, namun tidak sampai Idul Adha. Otomatis, kami menikmati hari raya qurban di perantauan yang tak jauh.

Kebetulan, di Idul Adha perdana dengan istri plus calon bayi kami yang tengah dikandungnya, saya dapat dua kupon daging qurban dari pengurus masjid dan surau dekat kami tinggal. Terang saja saya senang, karena bakal menyantap rendang. Namun, istri kurang bersemangat saat saya selalu bilang mau rendang enak.

"Saya belum pernah bikin rendang sejak gadis sampai menikah ini da (bang)," kata istri kepada saya.

Dengan senyum saya katakan, tidak masalah, namun harus mencoba. Sebab, nanti kita (saya dan istri) kelak jadi orangtua hingga kakek-nenek. Malu sekali kalau nenek di Minangkabau itu tak pandai masak rendang yang sudah menjadi tradisi turun temurun.

Singkat cerita, mulailah istri menyiapkan semua bumbu untuk memasak rendang. Entah ditanya ke siapa, saya tidak tau. Yang jelas, sejak daging qurban datang siang itu, ia fokus di dapur sampai magrib. Alhasil rendangnya selesai jelang ibadah Isya dan saya menikmati enaknya rendang buatan perdana dari racikan tangan istri.

"Jangan nilai bentuknya, nilai dari usahanya," kata istri, saat saya memangut-mangut warna rendangnya yang coklat kehitam-hitaman.

Memasak rendang tidaklah mudah dan tidak pula terlalu sulit. Namun, waktu yang dibutuhkan untuk memasak daging cukup lama. Menghabiskan waktu dari 5 sampai 7 jam. Tergantung pola besar api dan jumlah daging yang akan dimasak.

Sebetulnya, sebelum jadi rendang, daging sapi sudah disantap. Sebab, tingkatannya menjadi rendang ada tiga. Mulai dari gulai daging, kalio dan terakhir menjadi rendang. Untuk kelas gulai, cukup dalam waktu 1 sampai 2 jam saja. Sedangkan untuk kalio, menghabiskan waktu sampai 4 jam.

Soal kenikmatan rasa, tak jauh beda antara kalio daging dengan rendang. Bedanya, rendang bisa disantap hingga 1 bulan lebih tanpa dipanaskan. Sedang kalio nyaris sama dengan gulai yang harus dipanaskan setiap hari agar tidak basi.

Bahan dan bumbu rendang juga beragam, namun banyaknya persiapan bumbu disesuaikan dengan jumlah daging. Untuk daging seberat 1,5 kilogram butuh santan dari dua buah kelapa yang betul-betul tua.

Lalu, 1 ons cabai giling, dua ons bawang merah, 4 siung bawang putih. Kunyit dan jahe minimal masing-masing 1 ruas. Kemudian lengkuas setengah ruas jari, 3 sampai 5 lembar daun salam, 4 lembar daun jeruk. Lalu, daun kunyit secukupnya ditambah serai dan ketumbar secukupnya.

Setelah bahan-bahan itu tersedia, mulailah aduk menjadi gulai. Sebelum memasukkan daging padat yang sudah dipotong-potong, panaskan adonan santan yang sudah dicampur bahan dan bumbu. Setelah itu, mulailah membuat gulai. Nikmati panasnya berdiang dengan api kompor hingga gulai daging berubah jadi daging.

Tidak sulit bukan? Ingat, daging untuk rendang hanya daging padat. Lalu, saat santan mulai mendidih, tidak boleh lengah mengaduknya dan harus terus diaduk hingga jadi kalio. Setelah itu, anda bisa santai sedikit sampai gulai daging berubah warna menjadi coklat atau hitam.

Itulah rendang, makanan terlezat di dunia yang termasuk satu dari 5 kuliner yang ditetapkan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sebagai makanan nasional Indonesia yang sudah diperkenalkan ke Mancanegara.

Di Sumatara Barat, gadis Minang dituntut pandai memasak rendang. Kalaupun tidak semasa gadis, minimal setelah mereka menikah. Istri saya tadi misalnya, baru cakap memasak setelah saya persunting tiga tahun lalu. Sekarang, semua masakannya tak kalah enak dengan sajian rumah makan ternama di Kota Padang. Selamat mencoba bikin rendang ya.