Nama Datuak Parpatiah Nan Sabatang mungkin sudah melekat dalam ingatan masyarakat khususnya di Sumatera Barat (Sumbar). Sebab, dalam sejarah Budaya Alam Minang Kabau, Datuak Parpatiah dikenal sebagai seorang tokoh panutan yang menjadi pemimpin kelarasan Bodi Caniago. Namun, tak banyak yang tau dimana Datuak yang dalam sejarah Minang Kabau menjadi Patih di Kerajaan Pagaruyung sekitar abad ke-14 silam.
Rasa penasaran membawa penulis mengunjungi makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang terletak di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, Nagari Salayo, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Konon kabarnya, Dt Parpatiah sesungguhnya atau Datuak Parpatiah Nan Sabatang pertama yang turun dari Gunung Merapi, menuju Pariangan itu dimakamkan di Munggu Tanah.
Nyaris masyarakat Minang di Sumbar tidak banyak yang mengetahui tempat “pembaringan” terakhir Dt Parpatiah Nan Sabatang. Bahkan, warga Kabupaten dan Kota Solok sendiri tak tau, jika tokoh penyebaran adat ini dimakamkan di Nagari Salayo.
Siang itu, (11/10-2015), didampingi penjaga makam, penulis mengunjungi makam Dt Parpatiah Nan Sabatang yang berjarak sekitar 1 Km dari jalan raya Solok-Salayo.
Sekilas memang tak terlihat tanda di kampung tersebut terdapat prasti sejarah Minang Kabau. Sebab, tak satupun petunjuk di Salayo yang menuliskan jika di Munggu Tanah, ada makam Dt Parpatih Nan Sabatang.
Sampai di Munggu Tanah, tepatnya di sebelah kiri sisi jalan, penulis mulai percaya, jika memang di sini ada makam Dt Parpatiah.
Hal ini diperkuat dengan adanya plang merek yang bertuliskan “situs cagar budaya Minang, Makam Dt Parpatiah Nan Sabatang” tertera di plang merek yang catnya sudah berkarat dan tegaknya sudah tak kokoh lagi. Sementara makam itu sendiri berada sekitar 200 meter dari pinggir jalan Munggu Tanah.
Meski bersih dari sembraut sampah, namun paving block jalan setapak menuju makam Dt Parpatiah itu sendiri sudah tak rata. Dengan kata lain, banyak yang berlubang dan sebagian juga sudah hancur.
Wajar saja, sebab dari informasi petugas penjaga makam Parpatiah, lokasi ini terakhir dipugar Tahun 2009, setelah sebelumnya dipugar pertama kali pada Tahun 1995 oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar. Itupun tidak semua yang diperbaiki, hanya beberapa bangunan di sekitar makam yang roboh akibat gempa.
Petugas penjaga makam Dt Parpatih Nan Sabatang, Defrizal alias Depi Pasus, 31, mengatakan, dalam lokasi makam Dt Parpatiah yang dipayungi bangunan khas “Rumah Gadang” Minang itu terdapat 5 makan yang dikebumikan disamping makam Datuak Parpatiah.
Masing-masing, 2 orang teman sejawat Dt Parpartiah bernama Pangeran Banten yang kemudian diberi gelar adat Sutan Rajo Bantan dan Tumenggung yang kemudian diberi gelar adat Datuak Tumangguang.
Pemberian gelarb adat ini, konon karena kedua teman Datuak ini sudah “malakok” atau mengaku mamak di Salayo yang kemudian diangkat menjadi Datuak.
Sedangkan 3 orang lainnya berasal dari Salayo. Masing-masing, makam dubalang dari kaum Caniago Hilia bergelar Dt Baramban Duri Lukah, dan makam dubalang dari kaum Caniago Mudiak bergelar Dt Baniang Bapauik. Serta, makam seorang perempuan yang tidak diketahui namanya
“Informasi sejarah yang saya terima turun temurun dari tetua kampung di Salayo dan Munggu Tanah, makam perempuan ini diberi nama Mande Rubyah (bukan Rubyah di Lunang Silaut). Konon ceritanya, beliau dulunya bekerja sebagai tukang cuci baju Dt Parpatiah,” kata Depi Pasus.
Depi mengatakan, semua informasi yang diterimanya bersumber dari tokoh-tokoh adat dan ninik-mamak di sekitar Nagari Salayo. Diantaranya, cerita dari almarhum Emi Datuak Mangkudun yang pernah menjadi Kepala Desa Munggu Tanah sekitar 35 Tahun lalu, dari almarhum Datuak Putih di Salayo, dari almarhum Datuak Rajo Sampono yang mantan kepala Desa Salayo dan dari beberapa tokoh lainnya.
Depi menerangkan, dari sejarah yang diterimanya, selain dikenal sebagai panutan dalam masyarakat Minang Kabau dan pemimpin kelarasan Bodi Caniago, Dt Parpatiah Nan Sabatang ini juga dikenal sebagai Datuak yang gemar mengembara. Bahkan, hingga ke tanah Jawa.
“Makam Pangeran Banten Tumenggung itu adalah bukti, jika Dt Parpatiah Nan Sabatang memang pengembara,” papar putra almarhum Anwar Bay yang dulunya juga bertugas sebagai penjaga makam Dt Parpatiah.
Asal-muasal “ditanamnya” Dt Parpatiah Nan Sabatang di Munggu Tanah Nagari Salayo ini sendiri berawal dari keberadaan Dt Parpatiah dulunya yang suka “bertandang” ke Nagari Salayo. Konon Datuak ini dulunya sering berdiam di rumah Datuak Gadang dari suku Kampai di Salayo.
Sekitar Tahun 1298 Masehi, Dt Parpatiah Nan Sabatang jatuh sakit. Dalam keadaan sakti itu juga, Dt berpesan pada Datuak Gadang, agar dapat mengumpulkan seluruh ninik-mamak yang berada di kawasan “Kubuang Tigo Baleh” untuk dapat bertatap muka dan diberi pengajaran oleh Dt Parpatiah.
“Dima tanah dipijak, dirikan Nagari jo adatnya. Tanah lunak jadikan sawah, tanah kareh buekkan ladang, dan tanah tandus jadikan padang gumbalo. Dalam sejarahnya, sebelum menghembuskan nafas terakhir di rumah Datuak Gadang, beliau berpesan seperti pada ninik-mamak di Kubung Tigo Baleh,” tutur ayah dua orang anak ini.
Setelah meninggal dunia, ninik-mamak di kawasan Kubung Tigo Baleh berkesepakatan untuk memakamkan Dt Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao (Bypas Salayo). Namun, konflik mulai terjadi, saat kabar duka meninggalnya Dt Parpatiah ini berhembus hingga ke Istana Pagaruyuang di Batu Sangkar.
Alhasil, setelah terkuburnya Dt Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao, tokoh adat di Batu Sangkar ingin jenazah Dt ini dibawa ke Pagaruyuang dan dikebumikan di sana.
Mendengar kabar itu, tokoh Solok dan Kubuang Tigo Baleh juga tak senang hati. Sebab, ninik-mamak di Solok dan Salayo, juga menginginkan jenazah Dt Parpatih tetap di Salayo.
Berbagai cara diakali ninik-mamak menghalangi kedatangan rombongan dari Batu Sangkar. Mulai dari ranjau pandan berduri yang di buat orang Solok. Ada juga pagar betis dari batang tabu.
“Upaya menghalangi orang Batu Sangkar itu tidak berhasil, dan sampai juga mereka di Salayo,” kata Depi mengisahkan.
Kendati demikian, masyarakat Solok-Salayo tidak kehilangan akal untuk tetap mempertahankan keberadaan makam Dt Parpatiah agar tetap di Salayo. Sampai di Nagari Salayo, rombongan dari Batu Sangkar dijamu dengan makan dan minum di rumah Datuak Gadang. Singkat cerita, tokoh masyarakat di Salayo berusaha memperlambat waktu rombongan dari Batu Sangkar.
Sembari makan, rombongan dari Batu Sangkar ini diajak
bercerita oleh tokoh Solok-Salayo di rumah Gadang Datuak Gadang di Salayo.
Dimana, tokoh Salayo meyakinkan rombongan dari Batu Sangkar, jika jenaazah Dt
Parpatiah ini tetap akan dibawa ke Batu Sangkar. Namun, tentu dengan cara
bermusyawarah.
Diam-diam, masyarakat Solok-Salayo ini
sudah merencanakan untuk membongkar kembali makam Dt Parpatiah di Bawah Jao,
dan jenazah tersebut dibawa ke Munggu Tanah. Sedangkan makam
di sana, ditukar dengan batang pisang. “Asik bercerita
sembari makan, ninik-mamak Salayo mengunci perbincangan. Menurutnya, Dt Parpatiah Nan Sabatang itu orang keramat.
Jadi, apapun yang terjadi saat dibongkar makamnya nanti, itu tidak lepas dari
keramatnya beliau. Makanya, saat rombongan Batu Sangkar ini mendapati jenazah
berubah jadi batang pisang tidak curiga, dan itu yang digotong ke Batu Sangkar.
Serta, dari kejadian ini pula lahir pepatah, Aka Solok Budi Salayo,” beber Depi
yang sudah menjadi honorer BPCP Sumbar sejak Tahun 2004 itu.
Menurut Depi, pihak BPCB sendiri tidak membantah, jika memang
makam Dt Parpatiah Nan Sabatang yan pertama berada di Munggu Tanah. Sebab,
sejarah ini juga dibukukan di Pagaruyung.
Meski begitu, anak Nagari Salayo menyadari dan mengakui, Dt
Parpatiah Nan Sabatang bukanlah berasal dari Nagari Salayo. Melainkan menurut
sejarahnya, beliau adalah orang Dusun Tuo, Lima Kaum, di Luhak Tanah Datar. “Kalau ini tidak asli, tentu BPCB tidak
menjadikan makam Dt Parpatih di sini sebagai cagar budaya,” beber Depi yang
bekerja sudah 10 Tahun dari honor Rp300 ribu hingga Rp1 juta setiap bulannya
itu.
Makam Keramat
Selain dikenal sebagai cagar budaya Minang Kabau, makam Dt Parpatiah Nan Sabatang juga dikenal masyarakat setempat sebagai “makam keramat”. Presepsi ini muncul ini dari beberapa peristiwa yang terjadi lingkungan sekitar makam, khususnya di Munggu Tanah dan Salayo.
Menurut Sulaiman Datuak Sati, 83, sejak dahulunya hingga saat ini, jika ada orang yang melakukan perbuatan maksiat di sekitar lokasi makam atau di Munggu Tanah, maka akan terdengar dentungan bunyi “manggaga” (menggelegar) seperti dentungan besi yang dipukul dengan sangat keras.
Tak hanya itu, bunyi dentungan itu konon ceritanya sudah
sejak lama dijadikan sebagai petanda bagi masyarakat Salayo. Seperti, sebelum terjadinya
gempa bumi Tahun 1926, banjir besar di Tahun 1927, dan kejadian-kejadian lain.
“Kalau ceritanya dulu, jika akan peristiwa luar biasa, makam
Parpatih itu selalu memberi petanda dengan dentungan keras yang berbarengan
dengan guruh petir, dan itu sudah sering terjadi dan dirasakan,” kata Dt Sati
dari suku Caniago ini.
Selain itu, Jon Rajo Bonsu, 63 salah
seorang tetua di Munggu Tanah menyebutkan, dulunya masyarakat juga mempercayai
makam Dt Parpatiah ini sangat baik sebagai tempat memanjatkan doa, dan
melafalkan nazar. Hal ini didasari arwah “Niniak-Angku” sebutan Dt Parpatiah di
Salayo, selalu menyertai doa anak cucunya.
Sebelum era 80-an, anak Nagari sekitarnya di Munggu Tanah
ini, sering
melakukan kaul (melepaskan hajat dengan berdoa, sambil makan bersama) ke makam Dt Parpatiah. Kebiasaan kaul ini biasanya dilakukan sebelum mulai turun ke sawah atau pada penghujung musim kemarau.
melakukan kaul (melepaskan hajat dengan berdoa, sambil makan bersama) ke makam Dt Parpatiah. Kebiasaan kaul ini biasanya dilakukan sebelum mulai turun ke sawah atau pada penghujung musim kemarau.
“Biasanya untuk do’a tolak bala, masyarakat melakukannya di
makam Dt Parpatiah. Adanya masyarakat yang berkunjung ke sini untuk memanjatkan
do’a,” kata Jon Rajo Bonsu.
Selain itu, berbagai keanehan juga terdapat di lokasi makam Dt Parpatiah. Seperti ukuran panjang makam Dt Parpatih yang tak pernah sama dan selalu berubah-ubah. Bahkan, pernah di ukur panjang makamnya terkadang mencapai 2,5 meter dan juga pernah sampai 3 meter. “Setiap di ukur, selalu berubah. Ini juga jadi tanda tanya besar di diri saya,” kata Depi Pasus.
Selain itu, berbagai keanehan juga terdapat di lokasi makam Dt Parpatiah. Seperti ukuran panjang makam Dt Parpatih yang tak pernah sama dan selalu berubah-ubah. Bahkan, pernah di ukur panjang makamnya terkadang mencapai 2,5 meter dan juga pernah sampai 3 meter. “Setiap di ukur, selalu berubah. Ini juga jadi tanda tanya besar di diri saya,” kata Depi Pasus.
Selain itu, tepat di pinggirnya hanya berjarak sekitar 2
meter dari makam Dt Parpatiah Nan Sabatang terdapat satu batang pohon bernama
pohon Mansiro yang telah mengakar disepanjang makam dan sudah berusia puluhan
tahun. Meski panjang akarnya mencapai 8 meter, namun akar tersebut tidak pernah
sampai ke area makam Datuak. Hanya saja, saat tepat di bangunan makam, akar
tersebut seperti menghindar dan memanjang ke arah yang tidak bersentuhan dengan
makam.
Selain pohon Mansiro, dahulunya juga terdapat pohon Kubang yang sangat besar dan tinggi. Konon ceritanya, menurut kepercayaan orang-orang tua di Munggu Tanah dulu, jika daun pohon itu rimbun, ekonomi di daerah ini akan hidup, dan sebaliknya. Jika daun pohon tersebut berguguran, maka “diyakini” perekonomian di daerah tersebut akan mati atau tidak berjalan baik.
“Pohon itu tumbang karena diterjang petir di siang hari sekitar 25 Tahun lalu,” jelas Depi.
Cagar Budaya "Monumen Mati" di Kabupaten Solok
Selain pohon Mansiro, dahulunya juga terdapat pohon Kubang yang sangat besar dan tinggi. Konon ceritanya, menurut kepercayaan orang-orang tua di Munggu Tanah dulu, jika daun pohon itu rimbun, ekonomi di daerah ini akan hidup, dan sebaliknya. Jika daun pohon tersebut berguguran, maka “diyakini” perekonomian di daerah tersebut akan mati atau tidak berjalan baik.
“Pohon itu tumbang karena diterjang petir di siang hari sekitar 25 Tahun lalu,” jelas Depi.
Cagar Budaya "Monumen Mati" di Kabupaten Solok
Meski memiliki pesona dan daya tarik wisata budaya yang tinggi. Namun, nasib makam Dt Parpatiah Nan Sabatang tidaklah sepopuler namanya yang dikenang turun-temurun di Minang Kabau. Ironisnya, meski berada di Kabupaten Solok, namun orang-orang yang mengatahui makam ini justru berasal dari luar daerah. Bahkan, luar Sumbar. Padahal, untuk masuk dan berkunjung ke makam ini, tamu tidak dipungut biaya sepeserpun jua.
Paling tidak, dalam tiga Tahun terakhir,
tamu yang datang berziarah ke makam Dt Parpatih ini berasal dari Negeri
Sembilan Malaysia, Kota Padang, Kalimantan, Bengkulu dan sebagainya. "Banyak masyarakat
di Solok yang tidak tau keberadaan makam di Munggu Tanah," kata Depi.
Disamping itu, sejak 10 Tahun menjadi petugas kebersihan dan penjaga makam Dt Parpatiah, Depi mengaku belum pernah dikunjungi Pemerintah Kabupaten Solok, khususnya Dinas Kebudayaan.
Disamping itu, sejak 10 Tahun menjadi petugas kebersihan dan penjaga makam Dt Parpatiah, Depi mengaku belum pernah dikunjungi Pemerintah Kabupaten Solok, khususnya Dinas Kebudayaan.
"Jangankan untuk memperhatikan dan
menfasilitasi kekurangan makam, melihat saja belum pernah Pemerintah Daerah. Kalaupun pernah,
cuma satuk kali, ketika pak Gusmal masih jadi Bupati era tahun 2005-2010 silam,
itupun cuma berkunjung dan melihat makam," terang Depi.
Menurutnya, segala kebutuhan makam diterima dari pihak BPCB yang satu kali dalam tiga bulan memantau dan melihat kondisi makam.
Menurutnya, segala kebutuhan makam diterima dari pihak BPCB yang satu kali dalam tiga bulan memantau dan melihat kondisi makam.
"Biaya untuk kebersihan ini ditanggung BPCB. Dengan itu
pula saya bisa menghidupi anak-anak saya," kata Depi.
Dia berharap, kedepan Pemerintah Daerah dapat turut andil memfasilitasi makam. Agar dapat "dijual" pada wisatawan budaya. (Riki Chandra)
Dia berharap, kedepan Pemerintah Daerah dapat turut andil memfasilitasi makam. Agar dapat "dijual" pada wisatawan budaya. (Riki Chandra)
2 Komentar
semoga generasi erikutnya mau dan peduli terhadap cagar budaya adat minangkabau disekitarnya
BalasHapusTerima kasih sudah menceritakan tentang makam Datuak Parpatiah nan Sabatang ya, Bang. Saya bahkan betul-betul baru tahu tentang ini sekarang, meskipun malah membuat saya penasaran pada makam Datuak Katamangguangan yang belum saya temukan literatur atau foto makamnya. Izin memuatkan tautan laman ini di unggahan blog saya ya, Bang :)
BalasHapusSilahkan komentari dengan santun..