Genta memperlihatkan torofi dan piagam hadiah lomba foto Tangguh Award BNPB 2016


Mengukir prestasi hingga kancah Nasional, tidak mesti populer di tanah kelahiran. Justru mengharumkan nama Daerah asal setelah meraih penghargaan jauh lebih terhormat, daripada dikenal sejak awal berproses. Seperti yang dilakukan Primaha Genta Sati,30, pemenang foto terbaik dalam anugerah Tangguh Award BNPB Nasional di Manado, Oktober Tahun 2016 lalu.

Tak ada yang istimewa dari penampilan lelaki bertubuh ramping itu. Gayanya slengekan, bicaranya blak-blakan, dan nyaris tanpa beban. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, segudang prestasi ternyata sudah diraihnya sejak masih berstatus mahasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. "Enaknya sambil duduk kita ngobrol dalam rumah," kata Primaha Genta yang bermukim di Sawah Pasir, Nagari Salayo, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumbar.

Sembari duduk, Primaha Genta memulai perbincangannya. Ketertarikannya terhadap dunia lensa foto sudah lahir sejak masa SMA. Lalu, setamat dari SMAN 2 Solok Tahun 2006 silam, Ia langsung memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke ISI Padang Panjang dengan mengambil jurusan Televisi dan Film.

"Dasar Videografi adalah Fotografi. Jadi, jika ingin mendapatkan kualitas video bagus, mesti matang dulu di fotografi," terang Genta begitu sapaan akrabnya.

Tujuh tahun lamanya berkutat di arena kampus ISI Padang Panjang setelah wisuda Tahun 2013 silam, Genta terus mengasah naluri seni videografinya. Dia pernah satu tahun lamanya membuat Film dokumenter yang berjudul "Orang Rimba Yang Tak Punya Hutan" di Kabupaten Dharmasraya. Bahkan, karyanya itu juga masuk nominator Nasional. Itulah alasannya kenapa Genta telat wisuda, karena Dia menikmati seni dengan hati dan naluri.

"Mempelajari seni tidak cukup dalam waktu 4 tahun di dunia kampus. Perlu waktu lama dan terus menerus," terang suami Eeng Guanda itu.



Lebih lanjut lelaki bertato itu membeberkan, selama menggeluti dunia seni videografi plus fotografi, sudah banyak karya-karya yang telah diselesaikankannya. Namun, jarang sekali hasil karya tersebut yang di ikutkan Genta untuk perlombaan ataupun kompetisi.

"Bukan tidak pernah, tapi Saya jarang ikut lomba foto ataupun dokumenter. Bagi saya, hasil karya seni adalah kepuasan bathin yang tidak dapat di ukur dengan materi dan sebagainya," beber putra bungsu dari 6 bersaudara itu.

Dia mengisahkan, keberhasilannya menjadi jawara foto Nasional yang bahkan menumbangkan hasil karya para pewarta foto di Indonesia tahun lalu adalah sebuah Anugerah. Betapa tidak, kala itu sama sekali tidak terpikirkan baginya untuk keluar sebagian pemenang. Bahkan, Genta sampai lupa, kalau dia ikut mengirim karyanya pada Panitia Lomba Tangguh Award Nasional yang bertema "Bencana" itu.

Awalnya, Genta tidak berkeinginan untuk mengikuti kompetisi Tangguh Award yang didengarnya dari kabar seorang teman. Alasannya adalah karena Genta tidak memiliki stok foto yang banyak. Apalagi, kompetisinya tingkat Nasional yang akan bersaing dengan para pewarta foto se Indonesia.

"Temanya juga bencana. Mau hunting nggak mungkin, karena waktu sudah mepet. Saya bingung juga saat itu," kenang Genta.

Lantas, Istrinya tetap menyemangati Genta untuk mengirim karya foto lama yang file masih tersimpan baik. Dari hasil sortiran foto-foto itu, dipilihlah dua foto bencana. Pertama, bencana banjir yang menghantam Salayo. Kedua, foto orang rimba yang duduk mencpngkong di atas kayu bekas terbakar di tengah hutan.

"Saya kirimlah foto bencana banjir, dan orang rimba yang saya sebut bencana sosial karena terjajah di hutannya sendiri," terang Genta yang mengirimkan karyanya tiga hari sebelum pendaftaran di tutup.

Sambil terus menikmati hari-harinya sebagai pekerja seni, Genta tidak ambil pusing atas hasil karya yang dikirimnya itu. Bahkan, dia sampai lupa, setelah satu bulan kemudian Genta mendapat telpon dari panitia dan menyuruhnya berangkat ke Manado untuk mengambil penghargaan. "Rasanya waktu itu tidak bisa diceritakan. Haru, terkejut dan semua bercampur," akunya.

Prihama Genta Sati keluar sebagai juara pertama ajang Tangguh Award 2016 kategori foto bencana. Berkat foto bencana sosial orang rimbanya itu, Genta tersohor sejagat dunia fotografi Indonesia. Dari prestasi itu pula, beberapa pelaku seni, jurnalis di Sumbar mengenal Genta sebagai putra Solok. "Tidak banyak yang tau kalau saya asli anak Salayo," beber Genta.
Menang di tingkat Nasional bukan berarti memancing keinginan Genta untuk ikut dan kembali ikut dalam sebuah kompetisi pemotretan. Baginya, karya foto adalah wadah untuk mengabari dan bercerita. Dengan kata lain, apalah arti karya seni foto tanpa mengandung pesan moral, etika dan keindahan.

"Juara untuk motivasi, tapi seni harga mati. Maknanya abadi dan tidak bisa di ganggu gugat," terang Genta yang juga pernah masuk nominator 30 besar Garuda Kompetisi yang di ikuti 35 Negara Tahun 2009 lalu.

Di sisi lain, memiliki kemampuan memotret berkualitas tak lantas membuat Genta busung dada. Bahkan, dia tak ingin disebut Fotografer. "Saya pekerja seni, fotografer itu berat tugasnya," katanya.

Sebagai pekerja seni, Genta tidak saja berkecimpung di Sumbar. Dia sering di undang menjadi pembicara dalam Workshop hingga ke Yogyakarta, Bali dan sebagainya. "Selagi bisa berbagi, kenapa tidak," katanya.

Bicara soal fotografi Sumbar saat ini, Genta mengaku sedih. Pasalnya, banyak orang-orang yang baru kenal kamera, langsung dengan bangga menyebut dirinya fotografer. Kalau dikaji betul, banyak yang tidak paham dengan fotografi. "Foto itu bicara hasil dan efek. Jangan cepat puas. Percayalah, proses tidak akan pernah mengkhianati hasil. Jadi, pahami dulu apa itu fotografi sebelum langsung diri sebagai fotografer," bebernya. (Riki Chandra)